Sejarah Singkat
Sebenarnya keyakinan akan akibat dari proses dialektika materialisme-lah, ideologi yang bernama kapitalisme ini muncul. Pandangan ini kemudian dipertegas Weber dengan penggambarannya akan adanya sebuah gerakan individualisme sebagai penentangan atas hisapan-hisapan kejam yang dilakukan oleh feodalisme. Feodalisme yang di Romawi dan Yunani muncul dari kelas militer dan di Eropa Tengah muncul dari kelas tuan tanah tersebut yang kemudian menempatkan kedua kelas ini sebagai satu-satunya pemegang hak atas kepemilikan alat produksi. Sedangkan di luar kelas itu, ahli-ahli memiliki alat produksi bahkan diri mereka sendiri pun merupakan sebuah alat produksi (budak). Gerakan individualisme yang kemudian mencoba melawan kondisi inilah (antitesa), yang kemudian diklaim sebagai cikal bakal dari kapitalisme.
Kelahiran kapitalisme ini sekurang-kurangnya dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin Luther King yang memberi dasar-dasar Teosofik, Benjamin Frankiln yang memberi dasar-dasar filosofik, dan terakhir Adam Smith yang lebih rinci memberikan dasar-dasar ekonominya. Luther King adalah seorang Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya pada tanggal 31 Oktober 1517, yaitu dengan menempelkan tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak dapat menerima kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan di Gereja Roma pada waktu itu, sehingga selanjutnya ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya, dan semata-mata lewat perbuatan dan karya lebih baik saja yang dapat menyelamatkannya dari kutukan abadi. Spirit yang dibawa Martin Luther King ini mendapat daya dorong yang kuat dari Benjamin Franklin, yang notabene juga seorang Calvinis. Franklin secara filosofik mengajak setiap orang, siapapun dia, untuk bekerja keras mengakumulasi modal atas usahanya sendiri.
Franklin mensosialisasikan anjurannya itu dalam sebuah amanat-ilustratif yang amat terkenal: Waktu adalah uang. Orang yang menghasilkan 10 shilling sehari dari kerjanya, dan pergi berjalan-jalan atau duduk bermalasan setengah hari, walaupun ia hanya membelanjakan 6 pence selama berjalan-jalan dan bermalasan itu, tidak boleh diperhitungkan hanya itu saja pengeluarannya, sebab sebenarnya ia telah menghabiskan atau lebih tepatnya, membuang-buang 5 shilling lagi.
Pada saat dua wacana di atas berkumandang, terbitlah buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations yang terkenal itu. Smith, dalam karya besar itu mengongkritkan spirit kapitalistik dalam sebuah konsep yang disebut sebagai mekanisme pasar, basis filologisnya adalah laissez faire, laissez passer.
Ia mengatakan bahwa barang yang langka akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi naik (mahal), sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi, demikian Smith, yang harus dilihat kemudian adalah perilaku produsen. Di mana ketika harga sebuah barang mahal, maka keuntungan pun akan naik. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang itu tinggi, maka akan banyak produsen yang memproduksinya. Dengan demikian, maka kelangkaan barang tersebut akan teratasi, sehingga barang akan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat pun akan terpenuhi. Sehingga masalah yang dihadapi masyarakat akan diselesaikan oleh invisible hand, bukan oleh tangan negara yang visible itu. Konsep inilah yang kemudian pada tahun 1887 ditrabak oleh kitab Das Capital-nya Marx. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai anak, yaitu borjuis. Sedangkan cucunya adalah eksploitasi. Oleh karenanya, dengan cara revolusi kekerasan maka pemerintah sosialis harus didirikan. Terjaminnya kelanggengan sistem ini akan dijaga oleh sistem kepemimpinan diktator proletarian. Kaum buruh yang ternyata terkena dampak eksploitasi itu diajaknya bersatu dalam sebuah manifesto.
Pertempuran intelektual semacam ini (kapitalisme-sosialisme), kemudian berlanjut pada pertempuran senjata. Menurut dikotomi yang dibuat oleh Werner Sombart, negara sosialis dan negara kapitalis yang ada pada waktu itu, saling berebut supremasi. Meletuslah Perang Dunia II. Hingga kemudian sejak paska Perang Dunia II, tokoh-tokoh neo-klasik seperti Milton Friedman dan Garry Becker nampaknya mendapat angin kemenangan. Ajarannya tentang limitation government dan property right ini menjadi literatur-literatur wajib di pelbagai perguruan tinggi. Duet International Moneter Fund (IMF) dan World Bank kini telah menjadi presiden-presiden de facto di negara-negara Dunia Ketiga. Di sisi lain, sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang, bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Namun, perkembangan yang begitu dramatik itu sebenarnya tidak banyak menimbulkan perubahan, terutama pada gagasan-gagasan dasarnya.
Hal yang sering terjadi ialah, bahwa evolusi yang terjadi secara terus-menerus pada kapitalisme acap menciptakan kesulitan dalam hal pemahaman dan pendefinisiannya. Kesulitan-kesulitan ini berangkat dari cara pandang dan kepentingan yang berbeda-beda. Ini justru menarik perhatian Robert L. Heilbroner (1991) untuk melakukan kajian yang serius pada kapitalisme seperti yang tertuang dalam bukunya The Nature and Logic of Capitalism. Tampaknya di sana Heilbroner lebih menonjolkan komparasi antara sosialisme-nya Marx dan kapitalisme itu sendiri.
Indonesia dan Kapitalisme: Sedikit dari Begitu Banyak Hal
Sebagai bagian dari negara Dunia Ketiga, Indonesia tentu tidak bisa lari dari itu semua, kapitalisme mondial. Pertanyaan dasarnya, apa yang sedang terjadi? Kita mungkin sulit untuk memaklumi kenyataan yang menggambarkan bahwa para petani di Indonesia hari ini tidak dapat menjual produknya lagi (kalau pun toh terjual, pasti dengan harga yang jauh di bawah nilai produksi itu sendiri), atau bahkan tidak dapat berproduksi lagi (karena kalah dalam kompetisi global, atau justru oleh tekanan negara). Akibat dari diaspora cultural, maka buah dan sayuran impor kian hari kian digandrungi, dan pada saat yang sama, apresiasi terhadap hasil-hasil pertanian kian menurun.
Dalam kondisi seperti inilah, produk-produk pertanian kita menjadi kalah bersaing di negaranya sendiri dengan produk-produk impor. Dengan adanya LAP (Land Administration Adjusment), misalnya maka penguasaan tanah kini menjadi otorita dari para pemilik uang (TNC). LAP merupakan kebijakan pertanahan yang mengikuti alur-alur globalisasi yang dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dampak adanya kebijakan baru ini, nilai-nilai yang ada dalam Undang-undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) menjadi banyak yang terabaikan. Contohnya yang terjadi di Maluku, di mana sebagian besar tanah di sana tidak bersertifikat, maka ketika terjadi perdebatan hak kepemilikan, Bank Dunia kemudian mengurusi sertifikat tanah-tanah tersebut. Sehingga siapa yang memegang sertifikat, maka dialah pemilik tanah itu. Kalau hanya bermodalkan hak adat, tentu saja ia akan terkalahkan.Yang tidak kalah menderita lagi adalah perempuan dan anak-anak.
Dengan adanya SAP (Structural Adjusment Programme), maka kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang menyangkut kepentingan perempuan dan anak-anak serta-merta terabaikan. SAP adalah kebijakan World Bank yang ditekankan pada negara-negara penghutang untuk dapat membayar hutang tepat waktu. Kebijakan ini ditetapkan pada negara penghutang dengan mengurangi subsidi-subsidi untuk merit goods semacam kesehatan, pendidikan, gizi, makanan dan sebagainya. Dalam menghisap buruh, kapitalisme gaya baru ini melakukannya dengan sistem kerja TNC. Kontrol terhadap penindasan buruh justru sulit dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang mempekerjakan buruh secara lepas. Kondisi ini menyulitkan buruh memperoleh perlindungan, baik secara ekonomi, politik, kesehatan dan sebagainya.
Mekanisme penghisapan di atas barangkali akan lebih dramatik apabila kita melihat bagaimana perangkat kemiskinan (isolasi - kemiskinan - kelemahan fisik - kerawanan - ketidakberdayaan dan seterusnya) tercipta atas adanya kapitalisme global ini. Dengan diajukannya IDL (International Division Labour), maka yang terjadi sekarang adalah dikumpulkannya produk-produk yang berkualitas baik di negara-negara Dunia Pertama, dan produk-produk yang berkualitas jelek di negara-negara Dunia Ketiga. Akibat mengkonsumsi barang-barang berkualitas jelek inilah kemudian kelemahan fisik terjadi. Sementara kelemahan fisik sendiri adalah prasyarat dasar seseorang untuk menjadi miskin. Kemiskinan ini yang membuat ia terisolasi dan tidak dapat berinteraksi secara sehat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Karena ia terisolasi, maka ia tidak berdaya atas segala perlakuan dan perbuatan kompetitif yang terjadi. Ini pula yang memunculkan kerawanan pada diri dan masyarakat miskin, yang kemudian sangat rentan atas seretan kehancuran-kehancuran sosial terkecil sekalipun.
Di sisi lain, sesungguhnya hari ini telah terjadi pergeseran nilai yang ada pada para kaki tangan kapitalisme global semacam IMF, World Bank dan sebagainya. Yaitu dari mekanisme structural adjusment seperti yang telah diungkap pada bagian terdahulu, menuju pada mekanisme good governance (sampai pada awal dekade ‘90-an muncul slogan governing without government). Kendatipun demikian, sesungguhnya pergeseran ini tidak lepas dari filosofi dasar public choice yang menekankan pada liberalisasi sampai pada tingkat paling bawah dari struktur masyarakat. Pada awalnya konsep good governance ini diperkenalkan sekitar tahun 1990-an bagi negara-negara di kawasan Afrika, kemudian menyusul Amerika Latin, Eropa Timur atau bekas jajahan Rusia dan negara-negara berkembang di Asia. Ini dilakukan berdasarkan alasan untuk mengamankan investasi (bantuan atau pinjaman) yang sangat besar dari lembaga internasional tersebut. Bandingkan saja dengan pinjaman luar negeri Indonesia yang telah mencapai 50% dari GDP. Oleh karena itu sangat beralasan jika kemudian kaki tangan kapitalisme global tersebut mengharuskan kepada setiap negara peminjam untuk mematuhi keempat prinsip good governance.
Keempat prinsip tersebut adalah: Pertama, keharusan menjunjung tinggi rule of law, yaitu adanya jaminan masyarakat atau semua pihak diperlakukan secara adil dan merata di mata hukum. Bagi para pelaku yang diduga terlibat dalam kasus penyalahgunaan wewenang harus segera diusut ke pengadilan. Untuk hal itu diperlukan posisi hakim yang independen dan tidak terintervensi secara politik, seperti kekuasaan. Kedua, prinsip good administration, di mana agen-agen pemerintah dalam mengelola anggaran publik harus bertindak secara fair dan benar. Ketiga, prinsip accountability and responsibility, di mana para pemimpin politik harus menjelaskan kepada masyarakat tentang tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Keempat, prinsip transparancy, di mana masyarakat dapat mengakses informasi secara mudah dan transparan.
Keempat prinsip ini sekilas memang kelihatannya baik dan menyejahterakan masyarakat, namun ternyata lebih dari itu, prinsip-prinsip di atas sebenarnya lebih diperuntukan untuk kemapanan jalannya investasi yang dilakukan oleh kroni IMF, seperti TNC/MNC. Di samping itu intervensi mereka dalam day to day politics atas pemerintahan Indonesia juga menjadi makin terbuka lebar.
Sekarang, mari kita jawab pertanyaan ini, Apa yang seharusnya kita lakukan? [saifularif]
1 comments:
Hehe
Posting Komentar